PROPOSAL KEGIATAN SEMINAR DAN LOKAKARYA INSTITUT DIALOG ANTARIMAN DI INDONESIA
PROPOSAL KEGIATAN SEMINAR DAN LOKAKARYA
INSTITUT DIALOG ANTARIMAN DI INDONESIA (Institut DIAN/Interfidei) bekerjasama dengan YAYASAN SINAR MORAL INDONESIA
Kupang, 4-7 Desember 2006
1. Latarbelakang
Isu dan persoalan di sekitar “pluralisme, konflik dan perdamaian” tetap actual dan relevan di Indonesia. Ketiganya selalu berkaitan. Pluralisme, selamanya memberi implikasi kepada dua hal : konflik dan perdamaian. Bila pluralisme dipandang dan dijadikan keadaan atau kekuatan yang dapat menciptakan konflik dan dipakai untuk berkonflik, maka segala bentuk perbedaan yang ada dalam masyarakat akan menjadi potensi konflik atau yang menciptakan konflik. Mungkin konstruktif, tetapi lebih mungkin destruktif – sebagaimana yang biasanya terjadi di Indonesia. Namun bila pluralisme dipandang dan dijadikan keadaan atau kekuatan untuk hidup damai atau membangun perdamaian, maka segala bentuk perbedaan menjadi kekuatan untuk itu.
Selama dua tahun terakhir kasus-kasus yang memunculkan issue pluralisme agama semakin merebak, tidak sebatas antaragama atau intra agama, tetapi juga berkaitan dengan etnisitas. Ada gerakan-gerakan yang mengatasnamakan agama atau etnis tertentu melakukan “pengadilan” terhadap kelompok komunitas agama lain atau “aliran” di dalam agama yang sama, bahwa yang lain itu bukan agama atau bukan seperti agama atau alirannya, karena itu perlu ditolak, dihancurkan atau “dipaksa’ untuk ikut bergabung menjadi “satu dan sama”. Ini bukan saja dilakukan secara tunggal oleh kelompok seperti Front Pembebas Islam (FPI), tetapi di belakang atau di sekitar mereka ada juga kelompok-kelompok lain, termasuk dari pihak aparat, penguasa, partai politik yang secara langsung atau tidak langsung didukung oleh lembaga keagamaan dalam arti luas.
Keadaan semacam ini tidak jarang mengikutsertakan isu dan persoalan etnisitas dari kemajemukan etnis/suku yang ada di daerah tertentu di mana konflik itu terjadi. Hal yang dalam konteks Indonesia biasanya sulit dipisahkan bila sudah ”menyatu” dengan isu dan persoalan agama.
Persoalannya adalah, apa yang dilakukan menggunakan kekerasan : pengrusakan, pembakaran dan penutupan rumah tinggal serta tempat ibadah komunitas agama atau aliran agama tertentu, atau tempat berkumpulnya komunitas etnis tertentu. Melakukan pengusiran warga masyarakat golongan agama atau aliran atau etnis tertentu yang kebetulan beragama sebagaimana agama yang tidak dikehendaki oleh kelompok yang melakukan kekerasan, dari wilayah tempat tinggalnya entah ke mana. Kenyataan ini sama sekali tidak bisa diatasi oleh pemerintah - negara, bahkan sebaliknya justru melanggengkan suasana tidak aman serta ketegangan antara yang satu dengan yang lain.
1
Sebut saja kasus Ahmadiyah sebagaimana yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia, termasuk di Lombok-tetangga dekat NTT/Kupang. Dalam beberapa tahun terakhir ini kelompok Ahmadiyah di Indonesia mengalami berbagai tindak kekerasan dari sesama kelompok muslim. Pengakuan mereka sebagai kelompok yang beragama Islam tidak diakui oleh kelompok muslim tertentu karena dianggap memiliki ”Nabi” lain sesudah Nabi Muhammad saw. Hal yang tidak dapat diterima dan dibenarkan oleh kelompok Islam ”formal” yang diperkuat dengan Fatwa MUI.
Kasus lain – yang khusus dialami masyarakat NTT adalah ketika pelaksanaan eksekusi atas Tibo, Cs. Masyarakat di NTT turut merasa sepenanggungan selaku warga masyarakat se-etnis sekaligus seagama (dalam hal ini Katolik). Apa yang terjadi di Poso dan Palu yang sebenarnya secara geografis sangat jauh dan dari segi persoalan tidak ada kaitan sama sekali, tetapi emosi ”sepenanggungan” karena etnis dan agama, membuat sebagian masyarakat NTT bereaksi dengan melakukan tindak kekerasan.
Pada waktu yang sama kenyataan bahwa di mana-mana di Indonesia sedang mewabah beraneka macam penyakit, kesulitan mendapatkan pekerjaan, ketidakadilan sosial, politik, ekonomi, hukum yang membuat masyarakat menjadi korban. Praktek korupsi yang tidak habis-habisnya. Alhasil masyarakat, tidak saja menjadi semakin bingung, gelisah dan miskin, tetapi juga berusaha mencari jalan keluar sendiri dengan cara kekerasan atau terpaksa melalui jalan pintas, mencuri bahkan bunuh diri. Semua ini sudah menjadi tidak asing lagi di dalam kehidupan sehari-hari.
Seluruh keadaan ini merupakan kenyataan konkrit yang dihadapi masyarakat, yang memiliki potensi konflik luar biasa. Dalam konteks lokal, kenyataan seperti ini terjadi di Kupang dan NTT umumnya. Kemiskinan, keterbelakangan pendidikan, sakit-penyakit, semuanya berada bersama dalam lilitan lingkaran permainan politik yang tidak murni berpihak pada kepentingan masyarakat dan kebutuhan konteks setempat, keadaan ekonomi yang lebih menguntungkan mereka yang memiliki kekuatan politik-kekuasaan.
Tidak ada maksud untuk menumpukkan seluruh persoalan ini ke “pundak” agama-
agama, tetapi jelas agama-agama hendaknya memiliki peran yang konstruktif dalam
proses transformasi dan reformasi kehidupan masyarakat, sehingga menjadi lebih baik. Demikian halnya dengan budaya, terutama budaya lokal. Sebab dapat dipastikan ada kearifan-kearifan budaya lokal yang dapat menjadi kekuatan masyarakat NTT untuk membangun kehidupan bersama di NTT.
Pertanyaannya, di mana letak fungsi dan peran transformatif, reformatif dan konstruktif agama-agama? Wujud tanggungjawab seperti apa yang dapat dilakukan agama-agama dalam hal membantu masyarakat untuk mengatasi dan menemukan “jalan keluar” dari berbagai kesulitan ini? Bagaimana masyarakat yang majemuk mampu melihat persoalan ini sebagai persoalan bersama yang memerlukan kerjasama konkrit untuk menghadapi dan mengatasinya?
2
Pertanyaan yang sama juga, yaitu terhadap budaya lokal. Apakah yang disebut budaya lokal NTT masih hidup dan berfungsi untuk menata dinamika pluralitas kehidupan masyarakat Kupang atau NTT pada umumnya?
Dalam konteks persoalan seperti di atas itulah, dianggap penting untuk menyelenggarakan kegiatan Seminar dan Lokakarya di Kupang.
2. Nama Kegiatan
Kegiatan ini bernama Seminar dan Lokakarya ”Pluralisme, Konflik dan Perdamaian : dalam konteks pluralitas masyarakat NTT di Kupang”.
3. Maksud dan Tujuan
3.1. Umum
Mendorong masyarakat di Kupang untuk mampu membangun sebuah masyarakat majemuk yang dinamis, menghargai perbedaan dan menjadikannya sebagai kekuatan bersama dalam hidup bermasyarakat.
3.2. Khusus
a. Membantu masyarakat untuk mampu menemukan dan mengkaji persoalan-persoalan yang ada dalam konteks kehidupan mereka yang ”mengganggu” dinamika kemajemukan di masyarakat.
b. Membantu masyarakat untuk menemukan relevansi peran dan fungsi agama-agama serta budaya lokal dalam konteks persoalan setempat.
c. Memberdayakan masyarakat dalam hal mengelola kemajemukan dalam konteks persoalan setempat.
4. Yang Diharapkan
a. Supaya kehidupan masyarakat majemuk di Indonesia, khususnya di Kupang, NTT
mengalami dinamika hidup yang konstruktif.
b. Supaya kemajemukan masyarakat bisa menjadi kekuatan ”inspiratif” yang dapat
membantu masyarakat menemukan solusi yang tepat untuk keluar dari persoalan
hidup sehari-hari.
5. Kelompok target/sasaran
Peserta adalah mereka, individu atau lembaga yang memiliki visi dan misi yang relevan dengan tema serta bersedia untuk mengikuti kegiatan ”belajar bersama” ini dalam sebuah proses yang terbuka, langsung dan dinamis. Peserta berasal dari latarbelakang gender, agama, etnis, pendidikan, kehidupan sosial yang berbeda. Untuk seminar jumlahnya maksimal 100 orang, sedangkan untuk lokakarya 35 orang.
3
6. Bentuk kegiatan
Kegiatan akan berlangsung dalam 2 (dua) tahap. Jarak antara tahap pertama dan kedua, antara 3-4 bulan. Bentuknya Seminar setengah hari dan lokakarya 3 hari. Seminar berlangsung dalam 2 (dua) sesi masing-masing 3 orang pembicara yang dipandu oleh seorang moderator (atau menjadi satu sesi, akan disesuaikan dengan situasi setempat). Masing-masing membicarakan topik-topik yang sudah disiapkan oleh panitia, disesuaikan dengan tema kegiatan. Kemudian dilanjutkan dalam lokakarya yang akan dipandu oleh 3 orang fasilitator selama tiga hari berturut-turut secara bergantian. Proses lokakarya akan lebih terfokus pada pendalaman-pendalaman serta latihan, bagaimana bisa menghadapi persoalan secara bersama, mengelola kehidupan bersama dengan kekuatan agama-agama dan budaya lokal, dalam konteks kemajemukan masyarakat setempat.
7. Materi Seminar dan Lokakarya
Seminar dan Lokakarya kali ini akan tetap fokus pada tema : ”Pluralisme, Konflik
dan Perdamaian” dengan memberi ”muatan” lokal sebagai dasar dan maksud dari
seluruh materi dan proses yang akan berlangsung. Persoalan hubungan antaragama dan intra agama dan etnis, terkait dengan persoalan sehari-hari : masalah tanah, ekonomi, kemiskinan, keterbelakangan pendidikan.
Direncanakan pada tahap pertama adalah, penggalian ”muatan” konteks lokal :
Dinamika kemajemukan agama, etnis serta persoalan-persoalan yang terkait yang
muncul di masyarakat. Kemudian melakukan kajian bersama tentang hal tersebut
dan mulai memikirkan tentang apa yang penting dan relevan dilakukan,
bagaimana dengan fungsi dan peran agama-agama serta budaya lokal; apakah
agama-agama berdiri sendiri atau perlu bekerjasama dengan bidang-bidang lain?
Bagaimana menghidupkan dan menjadikan budaya lokal sebagai kekuatan
bersama masyarakat untuk membangun masyarakat NTT yang damai, saling
menghargai dalam kepelbagaian, yang mampu mengurangi kemiskinan dan
keterbelakangan pendidikan?
Tahap kedua, akan lebih ke soal-soal yang berhubungan dengan rencana aksi
bersama. Tetapi sebelumnya perlu ada kelanjutan proses kajian lagi sebelum ada
diskusi tentang rencana kegiatan bersama. Diharapkan waktu antara tahap
pertama dan tahap kedua dapat membantu setiap peserta untuk lebih memahami
apa persoalan dalam konteks mereka sehari-hari, bagaimana memahami
keterlibatan dan kerjasama agama-agama dalam dinamika konteks mereka.
8. Nara sumber :
Seminar : Abdullah, M.Ag., Drs. Rodriques Servatius M.Si., Pater
Gregor Neonbaso, SVD, Pendeta Sem Nitti, MTh., dan pembicara muslim lokal dari MUI NTT. Dipandu oleh seorang moderator dari jaringan setempat.
4
a. Daniel Dhakidae, PhD (KOMPAS-Jakarta). Diharapkan pak Daniel bisa secara khusus membicarakan keterkaitan dan pengaruh persoalan sosial-politik-budaya secara makro dalam konteks lokal NTT.
b. Prof. Dr. Amien Abdullah (Rektor Uiniversitas Islam Indonesia, Yogyakarta). Diharapkan dapat membicarakan secara khusus tentang kemungkinan adanya keterkaitan dan pengaruh dinamika serta persoalan pluralisme agama-agama secara makro dalam konteks lokal di NTT.
c. Pater Budi Kleden (atau Pater Gregor), SVD. Diharapkan dapat menyampaikan, bagaimana budaya lokal berfungsi dalam konteks pluralitas masyarakat di NTT/Kupang. Nilai-nilai atau kearifan lokal apa yang masih hidup atau penting dihidupkan kembali. Mengapa perlu atau penting? Mengapa hilang atau tidak dipedulikan atau tidak dianggap penting lagi – bila itu terjadi?
d. Pendeta Sem Nitti, MTh. Diharapkan dapat menyampaikan secara khusus bagaimana pengalaman dan perspektif (komunitas) Kristen dalam dinamika pluralitas masyarakat NTT, khususnya berkaitan dengan pluralisme agama dan fungsi serta posisi budaya lokal dalam menghadapi dan mengatasi persoalan masyarakat NTT.
e. (dari Muslim). Diharapkan dapat menyampaikan secara khusus bagaimana pengalaman dan perspektif (komunitas) Muslim dalam dinamika pluralitas masyarakat NTT, khususnya berkaitan dengan pluralisme agama dan fungsi serta posisi budaya lokal dalam menghadapi dan mengatasi persoalan masyarakat NTT.
Lokakarya : Fasilitator ,1 orang dari Kupang, 2 orang dari Yogya
9. Waktu dan tempat pelaksanaan
Waktu pelaksanaan kegiatan ini pada tanggal 4-7 Desember 2006. Seminar di Gereja Koinonia, GMIT; Lokakarya di Susteran SSPS, Belo-Kupang.
10. Pelaksana
Penanggungjawab pelaksanaan Program kegiatan ini adalah bidang Pendidikan
Institut Antariman di Indonesia (Institut DIAN/Interfidei), Yogyakarta
bekerjasama dengan Yayasan Sinar Moral Indonesia, Kupang.
11. Bentuk kerjasama
a) Interfidei menginisiatif terlaksananya kegiatan ini di masing-masing daerah dan
memfasilitasi supaya kegiatan ini bisa berjalan dengan baik dan lancar. Fasilitas
yang dapat diberikan : membiayai semua keperluan kegiatan, kecuali biaya
persiapan di tingkat local; menyediakan pembicara dari luar Kupang (setelah
disepakati bersama), 2 fasilitator dan 2 orang panitia (tenaga administrasi,
dokumentasi dan notulensi). b) Jaringan local : menginisiatif terlaksanakanya
kegiatan ini di tingkat local, melakukan rekruitmen peserta serta mencarikan
5
pembicara local (sesuai kesepakatan), 1 moderator, 1 fasilitator dan 3 orang
panitia (membantu notulensi dan administrasi/akomodasi/konsumsi/transportasi);
membantu notulensi, menyiapkan akomodasi, konsumsi, transportasi serta proses
persiapan awal dan kebutuhan-kebutuhan pada saat pelaksanaan kegiatan;
membantu membiayai kebutuhan administrasi serta transportasi dan komunikasi local (internet, telpon dan fax) pada saat persiapan. Melakukan publikasi setempat.
12. Mengapa Kupang
Dinamika kehidupan antaragama dan interen satu agama dalam konteks masyarakat Kupang saat ini perlu mendapat perhatian. Di beberapa tempat, ada potensi konflik yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Selain itu, Kupang merupakan salah satu daerah di wilayah Timur yang juga ada banyak kasus tentang kemiskinan, penyakit yang sebenarnya membutuhkan perhatian agama-agama secara bersama lebih serius.Tahun 1998/1999, Interfidei pernah menyelenggarakan kegiatan Semiloka di sana, dengan tema yang hampir sama tetapi lebih terfokus kepada Pemilihan Umum. Apa implikasinya dalam dinamika kemajemukan agama di Indonesia? Dengan berbagai persoalan yang sedang terjadi di sana, teman-teman jaringan di Kupang merasa butuh sekali untuk menyelenggarakan kegiatan Seminar dan Lokakarya tentang “pluralisme, konflik dan dialog”.
***
6
INSTITUT DIALOG ANTARIMAN DI INDONESIA (Institut DIAN/Interfidei) bekerjasama dengan YAYASAN SINAR MORAL INDONESIA
Kupang, 4-7 Desember 2006
1. Latarbelakang
Isu dan persoalan di sekitar “pluralisme, konflik dan perdamaian” tetap actual dan relevan di Indonesia. Ketiganya selalu berkaitan. Pluralisme, selamanya memberi implikasi kepada dua hal : konflik dan perdamaian. Bila pluralisme dipandang dan dijadikan keadaan atau kekuatan yang dapat menciptakan konflik dan dipakai untuk berkonflik, maka segala bentuk perbedaan yang ada dalam masyarakat akan menjadi potensi konflik atau yang menciptakan konflik. Mungkin konstruktif, tetapi lebih mungkin destruktif – sebagaimana yang biasanya terjadi di Indonesia. Namun bila pluralisme dipandang dan dijadikan keadaan atau kekuatan untuk hidup damai atau membangun perdamaian, maka segala bentuk perbedaan menjadi kekuatan untuk itu.
Selama dua tahun terakhir kasus-kasus yang memunculkan issue pluralisme agama semakin merebak, tidak sebatas antaragama atau intra agama, tetapi juga berkaitan dengan etnisitas. Ada gerakan-gerakan yang mengatasnamakan agama atau etnis tertentu melakukan “pengadilan” terhadap kelompok komunitas agama lain atau “aliran” di dalam agama yang sama, bahwa yang lain itu bukan agama atau bukan seperti agama atau alirannya, karena itu perlu ditolak, dihancurkan atau “dipaksa’ untuk ikut bergabung menjadi “satu dan sama”. Ini bukan saja dilakukan secara tunggal oleh kelompok seperti Front Pembebas Islam (FPI), tetapi di belakang atau di sekitar mereka ada juga kelompok-kelompok lain, termasuk dari pihak aparat, penguasa, partai politik yang secara langsung atau tidak langsung didukung oleh lembaga keagamaan dalam arti luas.
Keadaan semacam ini tidak jarang mengikutsertakan isu dan persoalan etnisitas dari kemajemukan etnis/suku yang ada di daerah tertentu di mana konflik itu terjadi. Hal yang dalam konteks Indonesia biasanya sulit dipisahkan bila sudah ”menyatu” dengan isu dan persoalan agama.
Persoalannya adalah, apa yang dilakukan menggunakan kekerasan : pengrusakan, pembakaran dan penutupan rumah tinggal serta tempat ibadah komunitas agama atau aliran agama tertentu, atau tempat berkumpulnya komunitas etnis tertentu. Melakukan pengusiran warga masyarakat golongan agama atau aliran atau etnis tertentu yang kebetulan beragama sebagaimana agama yang tidak dikehendaki oleh kelompok yang melakukan kekerasan, dari wilayah tempat tinggalnya entah ke mana. Kenyataan ini sama sekali tidak bisa diatasi oleh pemerintah - negara, bahkan sebaliknya justru melanggengkan suasana tidak aman serta ketegangan antara yang satu dengan yang lain.
1
Sebut saja kasus Ahmadiyah sebagaimana yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia, termasuk di Lombok-tetangga dekat NTT/Kupang. Dalam beberapa tahun terakhir ini kelompok Ahmadiyah di Indonesia mengalami berbagai tindak kekerasan dari sesama kelompok muslim. Pengakuan mereka sebagai kelompok yang beragama Islam tidak diakui oleh kelompok muslim tertentu karena dianggap memiliki ”Nabi” lain sesudah Nabi Muhammad saw. Hal yang tidak dapat diterima dan dibenarkan oleh kelompok Islam ”formal” yang diperkuat dengan Fatwa MUI.
Kasus lain – yang khusus dialami masyarakat NTT adalah ketika pelaksanaan eksekusi atas Tibo, Cs. Masyarakat di NTT turut merasa sepenanggungan selaku warga masyarakat se-etnis sekaligus seagama (dalam hal ini Katolik). Apa yang terjadi di Poso dan Palu yang sebenarnya secara geografis sangat jauh dan dari segi persoalan tidak ada kaitan sama sekali, tetapi emosi ”sepenanggungan” karena etnis dan agama, membuat sebagian masyarakat NTT bereaksi dengan melakukan tindak kekerasan.
Pada waktu yang sama kenyataan bahwa di mana-mana di Indonesia sedang mewabah beraneka macam penyakit, kesulitan mendapatkan pekerjaan, ketidakadilan sosial, politik, ekonomi, hukum yang membuat masyarakat menjadi korban. Praktek korupsi yang tidak habis-habisnya. Alhasil masyarakat, tidak saja menjadi semakin bingung, gelisah dan miskin, tetapi juga berusaha mencari jalan keluar sendiri dengan cara kekerasan atau terpaksa melalui jalan pintas, mencuri bahkan bunuh diri. Semua ini sudah menjadi tidak asing lagi di dalam kehidupan sehari-hari.
Seluruh keadaan ini merupakan kenyataan konkrit yang dihadapi masyarakat, yang memiliki potensi konflik luar biasa. Dalam konteks lokal, kenyataan seperti ini terjadi di Kupang dan NTT umumnya. Kemiskinan, keterbelakangan pendidikan, sakit-penyakit, semuanya berada bersama dalam lilitan lingkaran permainan politik yang tidak murni berpihak pada kepentingan masyarakat dan kebutuhan konteks setempat, keadaan ekonomi yang lebih menguntungkan mereka yang memiliki kekuatan politik-kekuasaan.
Tidak ada maksud untuk menumpukkan seluruh persoalan ini ke “pundak” agama-
agama, tetapi jelas agama-agama hendaknya memiliki peran yang konstruktif dalam
proses transformasi dan reformasi kehidupan masyarakat, sehingga menjadi lebih baik. Demikian halnya dengan budaya, terutama budaya lokal. Sebab dapat dipastikan ada kearifan-kearifan budaya lokal yang dapat menjadi kekuatan masyarakat NTT untuk membangun kehidupan bersama di NTT.
Pertanyaannya, di mana letak fungsi dan peran transformatif, reformatif dan konstruktif agama-agama? Wujud tanggungjawab seperti apa yang dapat dilakukan agama-agama dalam hal membantu masyarakat untuk mengatasi dan menemukan “jalan keluar” dari berbagai kesulitan ini? Bagaimana masyarakat yang majemuk mampu melihat persoalan ini sebagai persoalan bersama yang memerlukan kerjasama konkrit untuk menghadapi dan mengatasinya?
2
Pertanyaan yang sama juga, yaitu terhadap budaya lokal. Apakah yang disebut budaya lokal NTT masih hidup dan berfungsi untuk menata dinamika pluralitas kehidupan masyarakat Kupang atau NTT pada umumnya?
Dalam konteks persoalan seperti di atas itulah, dianggap penting untuk menyelenggarakan kegiatan Seminar dan Lokakarya di Kupang.
2. Nama Kegiatan
Kegiatan ini bernama Seminar dan Lokakarya ”Pluralisme, Konflik dan Perdamaian : dalam konteks pluralitas masyarakat NTT di Kupang”.
3. Maksud dan Tujuan
3.1. Umum
Mendorong masyarakat di Kupang untuk mampu membangun sebuah masyarakat majemuk yang dinamis, menghargai perbedaan dan menjadikannya sebagai kekuatan bersama dalam hidup bermasyarakat.
3.2. Khusus
a. Membantu masyarakat untuk mampu menemukan dan mengkaji persoalan-persoalan yang ada dalam konteks kehidupan mereka yang ”mengganggu” dinamika kemajemukan di masyarakat.
b. Membantu masyarakat untuk menemukan relevansi peran dan fungsi agama-agama serta budaya lokal dalam konteks persoalan setempat.
c. Memberdayakan masyarakat dalam hal mengelola kemajemukan dalam konteks persoalan setempat.
4. Yang Diharapkan
a. Supaya kehidupan masyarakat majemuk di Indonesia, khususnya di Kupang, NTT
mengalami dinamika hidup yang konstruktif.
b. Supaya kemajemukan masyarakat bisa menjadi kekuatan ”inspiratif” yang dapat
membantu masyarakat menemukan solusi yang tepat untuk keluar dari persoalan
hidup sehari-hari.
5. Kelompok target/sasaran
Peserta adalah mereka, individu atau lembaga yang memiliki visi dan misi yang relevan dengan tema serta bersedia untuk mengikuti kegiatan ”belajar bersama” ini dalam sebuah proses yang terbuka, langsung dan dinamis. Peserta berasal dari latarbelakang gender, agama, etnis, pendidikan, kehidupan sosial yang berbeda. Untuk seminar jumlahnya maksimal 100 orang, sedangkan untuk lokakarya 35 orang.
3
6. Bentuk kegiatan
Kegiatan akan berlangsung dalam 2 (dua) tahap. Jarak antara tahap pertama dan kedua, antara 3-4 bulan. Bentuknya Seminar setengah hari dan lokakarya 3 hari. Seminar berlangsung dalam 2 (dua) sesi masing-masing 3 orang pembicara yang dipandu oleh seorang moderator (atau menjadi satu sesi, akan disesuaikan dengan situasi setempat). Masing-masing membicarakan topik-topik yang sudah disiapkan oleh panitia, disesuaikan dengan tema kegiatan. Kemudian dilanjutkan dalam lokakarya yang akan dipandu oleh 3 orang fasilitator selama tiga hari berturut-turut secara bergantian. Proses lokakarya akan lebih terfokus pada pendalaman-pendalaman serta latihan, bagaimana bisa menghadapi persoalan secara bersama, mengelola kehidupan bersama dengan kekuatan agama-agama dan budaya lokal, dalam konteks kemajemukan masyarakat setempat.
7. Materi Seminar dan Lokakarya
Seminar dan Lokakarya kali ini akan tetap fokus pada tema : ”Pluralisme, Konflik
dan Perdamaian” dengan memberi ”muatan” lokal sebagai dasar dan maksud dari
seluruh materi dan proses yang akan berlangsung. Persoalan hubungan antaragama dan intra agama dan etnis, terkait dengan persoalan sehari-hari : masalah tanah, ekonomi, kemiskinan, keterbelakangan pendidikan.
Direncanakan pada tahap pertama adalah, penggalian ”muatan” konteks lokal :
Dinamika kemajemukan agama, etnis serta persoalan-persoalan yang terkait yang
muncul di masyarakat. Kemudian melakukan kajian bersama tentang hal tersebut
dan mulai memikirkan tentang apa yang penting dan relevan dilakukan,
bagaimana dengan fungsi dan peran agama-agama serta budaya lokal; apakah
agama-agama berdiri sendiri atau perlu bekerjasama dengan bidang-bidang lain?
Bagaimana menghidupkan dan menjadikan budaya lokal sebagai kekuatan
bersama masyarakat untuk membangun masyarakat NTT yang damai, saling
menghargai dalam kepelbagaian, yang mampu mengurangi kemiskinan dan
keterbelakangan pendidikan?
Tahap kedua, akan lebih ke soal-soal yang berhubungan dengan rencana aksi
bersama. Tetapi sebelumnya perlu ada kelanjutan proses kajian lagi sebelum ada
diskusi tentang rencana kegiatan bersama. Diharapkan waktu antara tahap
pertama dan tahap kedua dapat membantu setiap peserta untuk lebih memahami
apa persoalan dalam konteks mereka sehari-hari, bagaimana memahami
keterlibatan dan kerjasama agama-agama dalam dinamika konteks mereka.
8. Nara sumber :
Seminar : Abdullah, M.Ag., Drs. Rodriques Servatius M.Si., Pater
Gregor Neonbaso, SVD, Pendeta Sem Nitti, MTh., dan pembicara muslim lokal dari MUI NTT. Dipandu oleh seorang moderator dari jaringan setempat.
4
a. Daniel Dhakidae, PhD (KOMPAS-Jakarta). Diharapkan pak Daniel bisa secara khusus membicarakan keterkaitan dan pengaruh persoalan sosial-politik-budaya secara makro dalam konteks lokal NTT.
b. Prof. Dr. Amien Abdullah (Rektor Uiniversitas Islam Indonesia, Yogyakarta). Diharapkan dapat membicarakan secara khusus tentang kemungkinan adanya keterkaitan dan pengaruh dinamika serta persoalan pluralisme agama-agama secara makro dalam konteks lokal di NTT.
c. Pater Budi Kleden (atau Pater Gregor), SVD. Diharapkan dapat menyampaikan, bagaimana budaya lokal berfungsi dalam konteks pluralitas masyarakat di NTT/Kupang. Nilai-nilai atau kearifan lokal apa yang masih hidup atau penting dihidupkan kembali. Mengapa perlu atau penting? Mengapa hilang atau tidak dipedulikan atau tidak dianggap penting lagi – bila itu terjadi?
d. Pendeta Sem Nitti, MTh. Diharapkan dapat menyampaikan secara khusus bagaimana pengalaman dan perspektif (komunitas) Kristen dalam dinamika pluralitas masyarakat NTT, khususnya berkaitan dengan pluralisme agama dan fungsi serta posisi budaya lokal dalam menghadapi dan mengatasi persoalan masyarakat NTT.
e. (dari Muslim). Diharapkan dapat menyampaikan secara khusus bagaimana pengalaman dan perspektif (komunitas) Muslim dalam dinamika pluralitas masyarakat NTT, khususnya berkaitan dengan pluralisme agama dan fungsi serta posisi budaya lokal dalam menghadapi dan mengatasi persoalan masyarakat NTT.
Lokakarya : Fasilitator ,1 orang dari Kupang, 2 orang dari Yogya
9. Waktu dan tempat pelaksanaan
Waktu pelaksanaan kegiatan ini pada tanggal 4-7 Desember 2006. Seminar di Gereja Koinonia, GMIT; Lokakarya di Susteran SSPS, Belo-Kupang.
10. Pelaksana
Penanggungjawab pelaksanaan Program kegiatan ini adalah bidang Pendidikan
Institut Antariman di Indonesia (Institut DIAN/Interfidei), Yogyakarta
bekerjasama dengan Yayasan Sinar Moral Indonesia, Kupang.
11. Bentuk kerjasama
a) Interfidei menginisiatif terlaksananya kegiatan ini di masing-masing daerah dan
memfasilitasi supaya kegiatan ini bisa berjalan dengan baik dan lancar. Fasilitas
yang dapat diberikan : membiayai semua keperluan kegiatan, kecuali biaya
persiapan di tingkat local; menyediakan pembicara dari luar Kupang (setelah
disepakati bersama), 2 fasilitator dan 2 orang panitia (tenaga administrasi,
dokumentasi dan notulensi). b) Jaringan local : menginisiatif terlaksanakanya
kegiatan ini di tingkat local, melakukan rekruitmen peserta serta mencarikan
5
pembicara local (sesuai kesepakatan), 1 moderator, 1 fasilitator dan 3 orang
panitia (membantu notulensi dan administrasi/akomodasi/konsumsi/transportasi);
membantu notulensi, menyiapkan akomodasi, konsumsi, transportasi serta proses
persiapan awal dan kebutuhan-kebutuhan pada saat pelaksanaan kegiatan;
membantu membiayai kebutuhan administrasi serta transportasi dan komunikasi local (internet, telpon dan fax) pada saat persiapan. Melakukan publikasi setempat.
12. Mengapa Kupang
Dinamika kehidupan antaragama dan interen satu agama dalam konteks masyarakat Kupang saat ini perlu mendapat perhatian. Di beberapa tempat, ada potensi konflik yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Selain itu, Kupang merupakan salah satu daerah di wilayah Timur yang juga ada banyak kasus tentang kemiskinan, penyakit yang sebenarnya membutuhkan perhatian agama-agama secara bersama lebih serius.Tahun 1998/1999, Interfidei pernah menyelenggarakan kegiatan Semiloka di sana, dengan tema yang hampir sama tetapi lebih terfokus kepada Pemilihan Umum. Apa implikasinya dalam dinamika kemajemukan agama di Indonesia? Dengan berbagai persoalan yang sedang terjadi di sana, teman-teman jaringan di Kupang merasa butuh sekali untuk menyelenggarakan kegiatan Seminar dan Lokakarya tentang “pluralisme, konflik dan dialog”.
***
6
Komentar
Posting Komentar